28
APRIL 2012
Teriknya
cahaya mentari tak menghalangi niat saya untuk memulai perjalanan. Memang, jika
dipikir-pikir, kurang kerjaan sekali siang-siang bolong seperti ini baru mulai
“mbolang”. Tetapi, beginilah adanya, karena paginya masih disibukkan dengan
serentetan agenda proker-proker kepengurusan. Sehingga tepat jam 12.00 siang,
saya bertekad untuk melancarkan aksi mbolang yang memang telah direncanakan
beberapa hari sebelumnya dengan salah satu teman jalan saya.
Tujuan
mbolang kali ini adalah ke kota Blitar. Yah, tepatnya ke rumah teman jalan saya
itu. Ceck point pertama kita adalah ke terminal Bungurasih Surabaya. Tak kurang
dari 1 jam, kami telah berada disana. Kali ini, kami tak mencari bus jurusan
kota Blitar, melainkan bus jurusan kota Malang. Hal ini diprediksikan karena
memang jarang menemukan bus patas langsung jurusan Blitar. Yup, kami berdua
langsung capcus menaiki bus patas jurusan kota Malang. Tiada hal yang cukup
berkesan dalam perjalanan Surabaya-Malang ini, karena memang bus yang kami
tumpangi terlalu nyaman, dan sama sekali tak ada desak-desakkan. Sepanjang
jalan-pun, hanya melihat pemandangan yang “standart” dari balik kaca bus.
Tetapi, cukuplah saya menikmati perjalanan ini dengan menikmati alam sekitar,
walaupun teman saya telah terlelap semenjak beberapa menit kami memasuki bus
ini. Rupanya dia sangat letih sekali, terlihat dari raut wajahnya yang agak
dilipat-lipat.
Tak
terasa 2 jam perjalanan telah terlewati. Tibalah kami di ceck point kedua, terminal
Arjosari Malang. Sebenarnya sih saya juga tak tahu kalau terminal ini adalah
pemberhentian bus terakhir di kota Malang ini, karena memang ini baru kali
pertama saya naik angkutan umum ke kota Malang. Baru setelah kondektur bus
berteriak memberi isyarat bahwa terminal tujuan telah sampai, barulah saya
paham. Ikon kota Malang, yang katanya “kota dingin” itu tak saya jumpai disini,
karena memang suasana terminal yang cukup “crowded” dan panas terik yang belum
kunjung redup. Naasnya, sesampainya di terminal Arjosari Malang ini, tak ada
satupun bus jurusan Blitar yang kosong. Semua full penumpang, tanpa jeda
sejengkalpun. Selain daripada itu, jarang sekali bus jurusan Blitar lewat. Kami
berdua hanya tolah-toleh, bingung dengan langkah apa yang selanjutnya akan kami
lakukan. Sudah 1 jam lewat, pun tak
kunjung datang lagi bus yang kami tunggu. Kesabaran kami sedang diuji ditengah
keletihan ini. Matahari-pun mulai redup. Sekali datang bus jurusan Blitar,
selalu diserbu oleh penumpang yang juga telah menunggu seperti halnya kami.
Memang, daripada mereka, kami berdua kalah cepat dalam berlari mengejar bus.
Yah, lagi-lagi harus lebih sabar menunggu. Akhirnya, kami berduapun segera
menyusun strategi. Karena jika terus saja kalah berlari, maka sampai malampun
kami takkan sampai di TKP. Jadi, mau tak mau kami harus ikut menerjang
kerumunan orang-orang jika ada bus tiba.
Akhirnya
kesempatan itupun datang juga. Saat ada satu bus jurusan kota Blitar, langsung
saja kami menyerbunya tanpa memperhatikan kerumunan orang-orang yang juga
bersiap menyerbu bus itu. Benar-benar gila, dengan susah payah kami berhasil
menembus desak-desakan penumpang. Walau kami hanya bisa berdiri menggantung
depan pintu, itu sudah Alhamdulillah sekali. Sebenarnya cukup berat hati,
karena keadaan sangat mendesak. Nyaris tak ada jarak antar penumpang satu
dengan lainnya. Nyaris tak ada sela antara penumpang yang putra dan putrid. Begitu
pula keadaan kami saat itu, benar-benar tak ada “space” sedikitpun. Untuk
bergerak saja susah, bernafaspun juga susah. Berdiripun tak bisa tegak, karena
terus saja terkena desakan penumpang lain. Teman saya-pun hampir terjatuh
karena terdesak penumpang lain. Benar-benar kondisi yang amat sangat tidak
nyaman. Dan hal ini berlangsung tak kurang dari 1 jam.
Disinilah
tiba klimaksnya. Saat kami berusaha bertahan menjaga keseimbangan diri dalam
bus, ada seorang pria mencurigakan menghampiri kami. Dari tampilannya, celana
jeans dengan kaos lengan pendek, dan bertopi serta mengenakan tas kecil
dibelakang. Jika ditaksir, sepertinya umurnya sekitar 30-an. Badannya-pun cukup
kekar dan berotot. Sebenarnya kami tak ingin bersuudzon. Hanya saja, kami
berdua yang kebetulan akhwat dan tanpa mahrom harus selalu waspada dan was-was
dengan segala situasi. Dengan isyarat mata, saya mengerling kearah teman saya,
seolah mengisyaratkan untuk lebih berhati-hati, menjaga 2 buah tas yang
dibawanya. Teman saya-pun mengangguk meng-iyakan. Dan ketika teman saya meraba
tas kecilnya, ternyata resleting tas bagian tengah sudah terbuka. Untung saja
tas tersebut hanya berisi obat-obatan dan barang-barang kecil. Dalam hati
merasa bersyukur sekaligus masih tetap was-was. Pria tersebut semakin mendesak
kami, sampai-sampai kami berdua hampir terjatuh ke belakang. Pria itu selalu
berdalih “apa sih mbak..?? saya juga didesak dari pintu lho mbaak, jadi juga
harus geser kearah sini..”. Dalam hati, saya dongkol sekali, berusaha memutar
otak, bagaimana cara menghindar dari pria itu. Tetapi, belum selesai saya berfikir, dia
benar-benar telah berada disebelah kiri saya, hanya berjarak beberapa milimeter
saja. Saat dia semakin mendesak dan berusaha melancarkan aksinya, spontan
kepalan tangan kanan saya melayangkan tonjokan kepadanya dan tepat mengenai lengan
kanannya. Semprotan mulut dengan nada sewot-pun terlontar lepas dari mulut
saya. “hei, mas..!! sampean liat gak sih kita udah mau jatuh gini, masih saja
didesak!!! Jadi cowok tuh mbok yao sadar diri!!! Gak malah menyiksa gini…!!!”.
Astaghfirulloh…entah darimana saya dapat kalimat seperti itu, tapi saya sudah
tak bisa berfikir panjang lagi.,Benar-benar ikut khilaf. Mungkin tonjokan dan
semprotan tersebut tak ada artinya bagi pria tersebut. Tetapi, hanya inilah
yang bisa saya perbuat.
Alhamdulillah
dengan dua senjata tadi, tonjokan di lengan dan semprotan mulut saya, pria
tersebut perlahan menghindar dan pergi ke kerumunan yang lainnya. Mungkin pria
tersebut merasa, kalau kami tak mudah dibodohi. Dalam hati hanya bisa
bersyukur, karena terhindar dari satu bahaya besar. Tetapi, rasa was-was tetap
saja menghampiri kami. Memang benar, kami berdua selamat dari bahaya copet
tersebut, tetapi..bagaimana dengan nasib penumpang lain??. Apakah mereka
bersikap waspada juga seperti halnya kami??. Robb.,lindungi kami dan seluruh
penumpang bus ini. Disela-sela kerumunan penumpang yang berdiri, yang nyaris
tak bisa ada jedanya tersebut, saya melihat samar-samar pria itu. Dia telah
berada ditengah-tengah penumpang bagian depan. Saya-pun tak habis pikir juga,
bagaimana bisa pria bertubuh kekar tersebut menyelinap sampai ke tengah-tengah
penumpang. Pikiran was-was dan cemas tetap saja menghantui. Hanya bisa berdzikir,
komat-kamit sendiri memohon perlindungan Alloh SWT. Karena saya-pun bingung apa
yang harus saya perbuat dengan kondisi yang tak mengenakkan ini.
Benar
saja, beberapa menit kemudian pria tersebut dapat menerobos penumpang yang
berjubel, mundur mendekati arah kami berdiri. Jantung kembali berdesir, takut
pria tersebut akan mencelakai lagi. Robb…tolonglah hambaMu ini. Terang saja
kami berdua ketakutan, karena memang postur tubuhnya yang kekar dan berotot.
Mungkin hanya dengan dorongan satu tangannya saja, kami bisa jatuh tersungkur.
Ternyata prediksi saya salah, astaghfirullah…saya terlalu su’uddzon. Pria
tersebut hanya melengos dengan tatapan sinis dan senyum kecut melewati kami
yang masih berdiri gemetar. Segera dia memberi isyarat kepada kondektur untuk
menghentikan bus, dan dalam sekejap pria tersebut lompat keluar dari bus.
Hilang tak berjejak.
Hanya
rasa syukur yang terselip dalam dada. Jantung kembali berdetak normal. Bahaya
yang sempat mengancam telah lalu. Hanya berharap perjalanan yang tinggal 30
menit lagi ini bisa lancar tanpa aral apapun. Belum selesai saya mengelus dada
dan sejenak menenangkan pikiran, terdengar tangisan dari salah satu penumpang
wanita dalam bus. Kontak pandangan semua penumpang tertuju kepadanya, seolah
semua benak bertanya, apa gerangan yang telah terjadi??. Dan tahukah apa yang
telah terjadi?. Ternyata dompet wanita tersebut telah raib dari tasnya.
Astaghfirulloh hal ‘adzim…Rasa kesal, bingung, iba, menyesal semua berkecamuk
menjadi satu. Ternyata pria tersebut berhasil menggaet satu korban dalam bus
ini. Seandainya saja saya dapat membekuk pria tersebut, pastilah wanita ini tak
jadi kecopetan. Tetapi, apalah daya, kami berdua hanyalah dua akhwat yang kalah
jauh dari pria tersebut jika dibandingkan segi fisiknya. Bukannya membekuk,
tetapi malah akan terbekuk. Sempat kesal, karena kenapa harus wanita yang jadi
korbannya, atau mentang-mentang karena wanita itu dipandang lemah
olehnya?..Huhh..kenapa sosok yang harusnya mengayomi malah
mencelakai?..Robb..hanya bisa beristighfar, beristighfar, dan beristighfar.
Berharap semoga pria tersebut segera diberi petunjuk. Hanya bisa mengambil
pelajaran dan hikmah dari perjalanan ini. Alloh Maha Tahu yang tersirat dan
tersurat.
¸.•'´´*•.♥farosha ♥.•*´`*•.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar