29 september 2012
Kurasa tak ada yang istimewa di tanggal ini,
hanya rutinitas seperti biasa membimbing santri-santri. Sesekali menasihati
mereka, tertawa dan bercanda layaknya seorang sahabat. Yah, seperti itulah saya
memposisikan diri diantara mereka. Sama-sama teman belajar, sahabat untuk
bertukar ilmu. Tetapi, rasanya ada yang ganjil dengan tanggal hari ini. Masih
berusaha menerka-nerka, apa gerangan istimewanya tanggal ini di tahun-tahun
silam. Sekejap anganpun melayang, menelusuri mesin waktu, tuk temukan titik
terang dari rahasia yang sedari tadi mengganjal di benakku.
Alhasil,
terbukalah tabir. Rahasia yang kucari telah terkuak, yaitu peristiwa tepat 3 tahun
silam. 29 september 2009, tatkala saya masih duduk dibangku perkuliahan
semester 3. Saat itu, seperti halnya mahasiswa yang lain, kuliah menjadi
rutinitas yang tak terlewatkan. Hari selasa, kuliah berjalan seperti biasanya.
Kebiasaan saya waktu itu, walaupun kuliah hanya sampai dhuhur, tapi saya enggan
pulang ke kost jam-jam siang seperti itu. Biasanya waktu saya habiskan untuk
mencari bahan mata kuliah di perpustakaan, googling di taman jurusan,
mengerjakan laporan praktikum, bercengkerama di masjid, ataupun mungkin rapat
organisasi. Yah, itulah rutinitas saya sehari-hari di kampus hingga waktu
petang menghampiri. Berbeda dengan hari ini, entah kenapa saya langsung pulang
ke kost selesai perkuliahan. Sungguh diluar kebiasaan. Tak ada alasan apapun
untuk segera hengkang dari kampus, hanya firasat saya saja yang mengontrol
kaki-kaki saya melangkah menuju kost, yang waktu itu saya masih tinggal di
asrama mahasiswa.
Perasaan
gundah dan tak tenang selalu menyertai. Entahlah, tak tahu apa penyebabnya
secara pasti. Disepanjang jalan dari kampus menuju kost-pun, saya hanya terdiam
membisu. Melamun dan menerawang tak jelas. Tiba di kost, langsung saja saya
ambil wudlu dan menunaikan sholat dhuhur. Batin sedikit tenang seusai sholat.
Memang benar adanya, jika kita gundah, maka langkah terbaik yang harus diambil adalah dengan berwudlu dan sholat.
Masih berusaha mengarungi ketenangan jiwa, saya teringat kepada keluarga di
rumah. Sebenarnya bukan “homesick”, karena memang baru beberapa hari yang lalu
saya pulang. Satu hal yang masih memberatkan, saat saya terpaksa kembali ke
kampus untuk melanjutkan rutinitas, saat itu kondisi rumah sedang tidak tenang,
karena ayah terbaring sakit. Semua kenangan serasa hadir kembali, ketika saya
merawatnya, menyuapi beliau ketika makan, memotong kuku-kuku tangannya, tertawa
kecil menghiburnya, sampai membersihkan tempat tidur dan menggantikan bajunya.
Saya baru menyadari, beliau dulu pasti melakukan hal yang sama ketika saya
masih kecil. Sungguh waktu seperti berlari, dulu saya yang dirawat dan sekarang
beliau yang saya rawat. Kerinduan-pun semakin membuncah, karena saya yakin,
saat ini umi sedang sendirian merawatnya. Tetapi apa boleh buat, kewajiban saya
menuntut ilmu juga harus saya tunaikan, sehingga saya hanya bisa membantu do’a
dari jauh.
Belum
selesai saya bernostalgia dengan kenangan-kenangan bersama mereka,
tiba-tiba,,kriiinggg… Handphone saya berdering. Ternyata ada panggilan dari
ammah (tante) saya. Deg, serasa jantung berhenti berdetak. Tak biasanya
siang-siang bolong seperti ini amah saya menelepon. Ada apa gerangan??. Segera
saya mengangkatnya dan terjadi perbincangan kecil antara saya dengan ammah
saya. Beliau tak berkata apa-apa, kecuali menyuruh saya untuk segera pulang ke
rumah. Hanya itu yang beliau sampaikan. Belum selesai saya bertanya-tanya,
telepon telah ditutup. Saya duduk terdiam, tak tahu apa yang harus saya
perbuat. Jurnal praktikum untuk besuk juga masih setengah jadi. Ah, kayaknya
keluarga sedang butuh saya, tak boleh berlama-lama menyia-nyiakan waktu. Langsung
saja saya ambil tas ransel, memasukkan beberapa potong baju dan segera bergegas
pulang. Pikiran telah melayang kemana-mana. Memikirnya hal terburuk yang akan
terjadi. Entahlah, apa yang terjadi. Yang pasti saya harus segera pulang ke
rumah.
Alhamdulillah,
ada teman samping kamar yang langsung peka dengan keadaan dan bersedia
mendampingi saya sampai portal. Mungkin di telah merasa tentang hal yang
terjadi dengan saya, walaupun saya belum cerita apapun dan masih menutupinya.
Ketika berjalan melewati kantin asrama-pun, saya masih sempat tersenyum menyapa
teman-teman yang sedang duduk-duduk santai. Seolah tak terjadi apa-apa.
Merekapuntak curiga sedikitpun dengan gerak-gerik saya tersebut. Sampai
portal-pun, saya bertemu dengan teman se-organisasi di kampus. Diapun langsung
mengantarkan saya sampai terminal tanpa diminta terlebih dahulu. Sungguh
pertolongan Alloh yang tak terduga,” min haitsu laa yahtasib”. Terimakasih
banyak teman-teman. Semoga Alloh membalas budi baik kalian.
Sesampainya
di terminal, hendphone saya-pun berdering kembali. Kriing…. Kali ini dari amm
(paman) saya. Segera saya mengangkatnya dan mendengar suara samar-samarnya
ditengah bisingnya suara kendaraan. Samar-samar beliau mengatakan bahwa ayah
telah dipanggil Alloh dan saya harus segera pulang. Inna lillahi wa inna ilaihi
Roji’un..la haula walaa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim. Tak kuasa saya
menahan airmata yang mengalir deras membanjiri pipi, membasahi jilbab yang saya
kenakan. Seolah kaki tak berpijak lagi, langkahpun gontai. Robb…kuatkan hamba,
kuatkan hamba. Untung saja bus yang akan saya tumpangi segera datang, langsung
saja saya menaikinya tanpa menghiraukan orang disekeliling saya yang mungkin
bertanya-tanya dengan tangisan saya. Badan saya langsung jatuh merebah di
sandaran kursi bus, serasa tak ada daya dan tenaga lagi. Hanya bisa berucap
istighfar dan surat alfatihah sebanyak-sebanyaknya disela-sela tangis yang
terisak. Robb….kuatkan hamba, lindungi hamba..
Disepanjang
perjalanan, banyak sekali “miscall” dari teman-teman, yang bertanya-tanya
dengan apa yang terjadi pada saya. Sayangnya, tak kuasa lagi berucap. Bibir
serasa kelu. Hanya satu sms yang sempat saya kirimkan kepada teman saya,
memberitahukan bahwa saya harus pulang, karena ayah dipanggil Alloh ba’da
dhuhur tadi. Perjalanan serasa sunyi, tak dapat saya nikmati sedikitpun.
Malampun mulai merayap, dan posisi saya masih berada di jalan. Isak tangis-pun
kini kian mereda karena keletihan. Beberapa sms di handphone saya mulai saya
baca, dan semua berisi ucapan dukacita dan do’a yang menguatkan hati saya.
Seolah mendapatkan transfer energi positif, airmatapun berhenti mengalir. Saya
tak boleh cengeng, saya harus kuat, dan saya-pun harus ikhlas. Bukankah semua
telah diskenario oleh Alloh.. Bukankah Alloh tak akan menguji hambaNya
melainkan disesuaikan dengan kemampuan hambaNya.. Saya harus yakin, bahwa saya
kuat dengan ujian ini. Saya tak boleh menambah sedih hati ummi yang ada
dirumah. Dan saya-pun harus bisa menguatkan ummi serta adik saya. Perjalanan
yang tak kurang dari 5 jam itu, hanya bisa saya isi dengan melafazdkan
ayat-ayat yang saya hafal. Dan Alhamdulillah, hati berangsur muthmainnah. Saya
telah bertekad, untuk menjadi anak yang tegar, bisa menenangkan hati keluarga
yang masih terluka.
Malam
itu pula, saya sampai di rumah. Sambil berusaha memantapkan langkah, saya
memasuki pekarangan dan langsung menuju ruang tengah. Saya hanya mendapati
wajah ummi beserta keluarga, yang masih
terlihat jelas gurat kesedihan didalamnya. Jenazah ayah-pun tak saya dapati,
karena memang langsung dikebumikan waktu ashar tadi. Benar-benar tak saya
jumpai wajah ayah saat terakhir kalinya. Hanya bisa mengirim do’a dan mohon
ampunan atas beliau. “Allohumma ighfir lahu wa irhamhu wa ‘aafihi wa’fu ‘anhu.
Allohummaj’al qobrohu roudzotan min riyaadzil jinaan, walaa taj’al qobrohu
hufrotan min huffarinniroon..”InsyaAlloh husnul khotimah ayah..
Sejak
hari itu sampai hari-hari berikutnya, rumah selalu dibanjiri dengan orang-orang
yang takziyah, turut berdukacita atas kepergian ayah. Maklum, semasa hidupnya,
ayah memang orang yang disukai masyarakat, karena sikap beliau yang ringan
tangan dan pandai bergaul. Sesekali saya ikut bergabung dengan para petakziyah
bersama adek saya yang paling besar, yang rupanya lebih tabah daripada saya. Dan
sesekali saya menghampiri adek saya yang paling kecil, yang saat itu masih
duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Lucu sekali mereka, mereka tetap saja
bermain-main, belum paham dengan apa yang telah terjadi. Sampai suatu ketika
terjadi perbincangan kecil antara saya dengan Fajriyya, adek terkecil saya
tersebut. “mbak-mbak, memang ayah kemana sich, kok aku g liat ya”..celotehnya
dengan nada polos. Deg, sesaat saya terdiam, matapun berlinang, bingung memilih
kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan anak sekecil dia. “ Ayah itu
sekarang lagi di surga deek, dipanggil Alloh..” tutur saya sambil tersenyum,
berusaha menutupi mata saya yang telah berkaca-kaca. Diapun menimpali jawaban
saya dengan wajah berbinar,..“ waah, kalo gitu enak ya ayah di surga, kata bu
guru.. di surga itu banyak makanan, mainan, dan teman-teman yang baik....aku
boleh ikutan g mbak..??”. Deg, saya bingung harus berucap apalagi. Untungnya
saya tak kehabisan akal. “ waah, ya gak
boleh lah dek…kalo mau ikut ke surga bareng ayah.., adek harus belajar dulu,
gak boleh nakal, dan harus taat pada ummi…tar baru deh bisa masuk surga..”tegas
saya meyakinkannya. Diapun mengangguk perlahan, seolah paham dengan apa yang
saya tuturkan. “Oo..gitu ya mbak, iya deh..mulai sekarang aku mau belajar dan
gak nakal lagi, biar bisa masuk surga kayak ayah..” tukas dia sambil tersenyum.
Alhamdulillah Robb..kali ini saya tak pusing lagi harus menjawab apa. Sambil
tersenyum, saya belai rambutnya, seraya berkata “ iyaa sayang…nanti kita semua
akan masuk surga bareng-bareng ya..”. Tak terasa airmata saya jatuh perlahan,
bahagia campur haru melewati sepenggal perbincangan tadi. Syukurku padaMu
Robb..telah menghadirkan anugrah yang terindah dalam hidup, yaitu almarhum
ayah,ummi, dan adek-adek yang selalu menghadirkan senyum dalam keluarga.
Itulah
sepenggal kisah yang telah tertoreh tiga tahun silam, yang menyimpan sejuta
hikmah. Yang menjadikan saya lebih tegar, begitu mendewasakan. Yang menjadikan
saya lebih punya rasa tanggungjawab sebagai anak pertama. Yang menjadikan saya
lebih kuat dalam menjalani hidup. Kini, semua tinggal kenangan masalalu, yang
takkan pernah terlupa selama nafas masih berhembus. Perjuangan hidup-pun masih
harus dilanjutkan walau tanpa hadirnya sesosok ayah. Didampingi ummi dan
adek-adek tercinta, kapal kehidupan ini harus tetap berlayar. Luv u ayah, ummi,
adek-adekku.
Five
angels..: layla, abidin, akrima,si kembar fajar dan fajriyya
¸.•'´´*•.♥farosha
♥.•*´`*•.