Minggu, 09 Desember 2012

INSYAALLOH, KITA KAN BERSAMA DI SURGA SAYANG...


29  september 2012
 Kurasa tak ada yang istimewa di tanggal ini, hanya rutinitas seperti biasa membimbing santri-santri. Sesekali menasihati mereka, tertawa dan bercanda layaknya seorang sahabat. Yah, seperti itulah saya memposisikan diri diantara mereka. Sama-sama teman belajar, sahabat untuk bertukar ilmu. Tetapi, rasanya ada yang ganjil dengan tanggal hari ini. Masih berusaha menerka-nerka, apa gerangan istimewanya tanggal ini di tahun-tahun silam. Sekejap anganpun melayang, menelusuri mesin waktu, tuk temukan titik terang dari rahasia yang sedari tadi mengganjal di benakku.
Alhasil, terbukalah tabir. Rahasia yang kucari telah terkuak, yaitu peristiwa tepat 3 tahun silam. 29 september 2009, tatkala saya masih duduk dibangku perkuliahan semester 3. Saat itu, seperti halnya mahasiswa yang lain, kuliah menjadi rutinitas yang tak terlewatkan. Hari selasa, kuliah berjalan seperti biasanya. Kebiasaan saya waktu itu, walaupun kuliah hanya sampai dhuhur, tapi saya enggan pulang ke kost jam-jam siang seperti itu. Biasanya waktu saya habiskan untuk mencari bahan mata kuliah di perpustakaan, googling di taman jurusan, mengerjakan laporan praktikum, bercengkerama di masjid, ataupun mungkin rapat organisasi. Yah, itulah rutinitas saya sehari-hari di kampus hingga waktu petang menghampiri. Berbeda dengan hari ini, entah kenapa saya langsung pulang ke kost selesai perkuliahan. Sungguh diluar kebiasaan. Tak ada alasan apapun untuk segera hengkang dari kampus, hanya firasat saya saja yang mengontrol kaki-kaki saya melangkah menuju kost, yang waktu itu saya masih tinggal di asrama mahasiswa.
Perasaan gundah dan tak tenang selalu menyertai. Entahlah, tak tahu apa penyebabnya secara pasti. Disepanjang jalan dari kampus menuju kost-pun, saya hanya terdiam membisu. Melamun dan menerawang tak jelas. Tiba di kost, langsung saja saya ambil wudlu dan menunaikan sholat dhuhur. Batin sedikit tenang seusai sholat. Memang benar adanya, jika kita gundah, maka langkah terbaik yang harus  diambil adalah dengan berwudlu dan sholat. Masih berusaha mengarungi ketenangan jiwa, saya teringat kepada keluarga di rumah. Sebenarnya bukan “homesick”, karena memang baru beberapa hari yang lalu saya pulang. Satu hal yang masih memberatkan, saat saya terpaksa kembali ke kampus untuk melanjutkan rutinitas, saat itu kondisi rumah sedang tidak tenang, karena ayah terbaring sakit. Semua kenangan serasa hadir kembali, ketika saya merawatnya, menyuapi beliau ketika makan, memotong kuku-kuku tangannya, tertawa kecil menghiburnya, sampai membersihkan tempat tidur dan menggantikan bajunya. Saya baru menyadari, beliau dulu pasti melakukan hal yang sama ketika saya masih kecil. Sungguh waktu seperti berlari, dulu saya yang dirawat dan sekarang beliau yang saya rawat. Kerinduan-pun semakin membuncah, karena saya yakin, saat ini umi sedang sendirian merawatnya. Tetapi apa boleh buat, kewajiban saya menuntut ilmu juga harus saya tunaikan, sehingga saya hanya bisa membantu do’a dari jauh.
Belum selesai saya bernostalgia dengan kenangan-kenangan bersama mereka, tiba-tiba,,kriiinggg… Handphone saya berdering. Ternyata ada panggilan dari ammah (tante) saya. Deg, serasa jantung berhenti berdetak. Tak biasanya siang-siang bolong seperti ini amah saya menelepon. Ada apa gerangan??. Segera saya mengangkatnya dan terjadi perbincangan kecil antara saya dengan ammah saya. Beliau tak berkata apa-apa, kecuali menyuruh saya untuk segera pulang ke rumah. Hanya itu yang beliau sampaikan. Belum selesai saya bertanya-tanya, telepon telah ditutup. Saya duduk terdiam, tak tahu apa yang harus saya perbuat. Jurnal praktikum untuk besuk juga masih setengah jadi. Ah, kayaknya keluarga sedang butuh saya, tak boleh berlama-lama menyia-nyiakan waktu. Langsung saja saya ambil tas ransel, memasukkan beberapa potong baju dan segera bergegas pulang. Pikiran telah melayang kemana-mana. Memikirnya hal terburuk yang akan terjadi. Entahlah, apa yang terjadi. Yang pasti saya harus segera pulang ke rumah.
Alhamdulillah, ada teman samping kamar yang langsung peka dengan keadaan dan bersedia mendampingi saya sampai portal. Mungkin di telah merasa tentang hal yang terjadi dengan saya, walaupun saya belum cerita apapun dan masih menutupinya. Ketika berjalan melewati kantin asrama-pun, saya masih sempat tersenyum menyapa teman-teman yang sedang duduk-duduk santai. Seolah tak terjadi apa-apa. Merekapuntak curiga sedikitpun dengan gerak-gerik saya tersebut. Sampai portal-pun, saya bertemu dengan teman se-organisasi di kampus. Diapun langsung mengantarkan saya sampai terminal tanpa diminta terlebih dahulu. Sungguh pertolongan Alloh yang tak terduga,” min haitsu laa yahtasib”. Terimakasih banyak teman-teman. Semoga Alloh membalas budi baik kalian.
Sesampainya di terminal, hendphone saya-pun berdering kembali. Kriing…. Kali ini dari amm (paman) saya. Segera saya mengangkatnya dan mendengar suara samar-samarnya ditengah bisingnya suara kendaraan. Samar-samar beliau mengatakan bahwa ayah telah dipanggil Alloh dan saya harus segera pulang. Inna lillahi wa inna ilaihi Roji’un..la haula walaa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim. Tak kuasa saya menahan airmata yang mengalir deras membanjiri pipi, membasahi jilbab yang saya kenakan. Seolah kaki tak berpijak lagi, langkahpun gontai. Robb…kuatkan hamba, kuatkan hamba. Untung saja bus yang akan saya tumpangi segera datang, langsung saja saya menaikinya tanpa menghiraukan orang disekeliling saya yang mungkin bertanya-tanya dengan tangisan saya. Badan saya langsung jatuh merebah di sandaran kursi bus, serasa tak ada daya dan tenaga lagi. Hanya bisa berucap istighfar dan surat alfatihah sebanyak-sebanyaknya disela-sela tangis yang terisak. Robb….kuatkan hamba, lindungi hamba..
Disepanjang perjalanan, banyak sekali “miscall” dari teman-teman, yang bertanya-tanya dengan apa yang terjadi pada saya. Sayangnya, tak kuasa lagi berucap. Bibir serasa kelu. Hanya satu sms yang sempat saya kirimkan kepada teman saya, memberitahukan bahwa saya harus pulang, karena ayah dipanggil Alloh ba’da dhuhur tadi. Perjalanan serasa sunyi, tak dapat saya nikmati sedikitpun. Malampun mulai merayap, dan posisi saya masih berada di jalan. Isak tangis-pun kini kian mereda karena keletihan. Beberapa sms di handphone saya mulai saya baca, dan semua berisi ucapan dukacita dan do’a yang menguatkan hati saya. Seolah mendapatkan transfer energi positif, airmatapun berhenti mengalir. Saya tak boleh cengeng, saya harus kuat, dan saya-pun harus ikhlas. Bukankah semua telah diskenario oleh Alloh.. Bukankah Alloh tak akan menguji hambaNya melainkan disesuaikan dengan kemampuan hambaNya.. Saya harus yakin, bahwa saya kuat dengan ujian ini. Saya tak boleh menambah sedih hati ummi yang ada dirumah. Dan saya-pun harus bisa menguatkan ummi serta adik saya. Perjalanan yang tak kurang dari 5 jam itu, hanya bisa saya isi dengan melafazdkan ayat-ayat yang saya hafal. Dan Alhamdulillah, hati berangsur muthmainnah. Saya telah bertekad, untuk menjadi anak yang tegar, bisa menenangkan hati keluarga yang masih terluka.
Malam itu pula, saya sampai di rumah. Sambil berusaha memantapkan langkah, saya memasuki pekarangan dan langsung menuju ruang tengah. Saya hanya mendapati wajah ummi  beserta keluarga, yang masih terlihat jelas gurat kesedihan didalamnya. Jenazah ayah-pun tak saya dapati, karena memang langsung dikebumikan waktu ashar tadi. Benar-benar tak saya jumpai wajah ayah saat terakhir kalinya. Hanya bisa mengirim do’a dan mohon ampunan atas beliau. “Allohumma ighfir lahu wa irhamhu wa ‘aafihi wa’fu ‘anhu. Allohummaj’al qobrohu roudzotan min riyaadzil jinaan, walaa taj’al qobrohu hufrotan min huffarinniroon..”InsyaAlloh husnul khotimah ayah..
Sejak hari itu sampai hari-hari berikutnya, rumah selalu dibanjiri dengan orang-orang yang takziyah, turut berdukacita atas kepergian ayah. Maklum, semasa hidupnya, ayah memang orang yang disukai masyarakat, karena sikap beliau yang ringan tangan dan pandai bergaul. Sesekali saya ikut bergabung dengan para petakziyah bersama adek saya yang paling besar, yang rupanya lebih tabah daripada saya. Dan sesekali saya menghampiri adek saya yang paling kecil, yang saat itu masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Lucu sekali mereka, mereka tetap saja bermain-main, belum paham dengan apa yang telah terjadi. Sampai suatu ketika terjadi perbincangan kecil antara saya dengan Fajriyya, adek terkecil saya tersebut. “mbak-mbak, memang ayah kemana sich, kok aku g liat ya”..celotehnya dengan nada polos. Deg, sesaat saya terdiam, matapun berlinang, bingung memilih kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan anak sekecil dia. “ Ayah itu sekarang lagi di surga deek, dipanggil Alloh..” tutur saya sambil tersenyum, berusaha menutupi mata saya yang telah berkaca-kaca. Diapun menimpali jawaban saya dengan wajah berbinar,..“ waah, kalo gitu enak ya ayah di surga, kata bu guru.. di surga itu banyak makanan, mainan, dan teman-teman yang baik....aku boleh ikutan g mbak..??”. Deg, saya bingung harus berucap apalagi. Untungnya saya tak kehabisan  akal. “ waah, ya gak boleh lah dek…kalo mau ikut ke surga bareng ayah.., adek harus belajar dulu, gak boleh nakal, dan harus taat pada ummi…tar baru deh bisa masuk surga..”tegas saya meyakinkannya. Diapun mengangguk perlahan, seolah paham dengan apa yang saya tuturkan. “Oo..gitu ya mbak, iya deh..mulai sekarang aku mau belajar dan gak nakal lagi, biar bisa masuk surga kayak ayah..” tukas dia sambil tersenyum. Alhamdulillah Robb..kali ini saya tak pusing lagi harus menjawab apa. Sambil tersenyum, saya belai rambutnya, seraya berkata “ iyaa sayang…nanti kita semua akan masuk surga bareng-bareng ya..”. Tak terasa airmata saya jatuh perlahan, bahagia campur haru melewati sepenggal perbincangan tadi. Syukurku padaMu Robb..telah menghadirkan anugrah yang terindah dalam hidup, yaitu almarhum ayah,ummi, dan adek-adek yang selalu menghadirkan senyum dalam keluarga.
Itulah sepenggal kisah yang telah tertoreh tiga tahun silam, yang menyimpan sejuta hikmah. Yang menjadikan saya lebih tegar, begitu mendewasakan. Yang menjadikan saya lebih punya rasa tanggungjawab sebagai anak pertama. Yang menjadikan saya lebih kuat dalam menjalani hidup. Kini, semua tinggal kenangan masalalu, yang takkan pernah terlupa selama nafas masih berhembus. Perjuangan hidup-pun masih harus dilanjutkan walau tanpa hadirnya sesosok ayah. Didampingi ummi dan adek-adek tercinta, kapal kehidupan ini harus tetap berlayar. Luv u ayah, ummi, adek-adekku.
Five angels..: layla, abidin, akrima,si kembar fajar dan fajriyya
                                                ¸.•'´´*•.♥farosha ♥.•*´`*•.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar